“Fal lu mau masuk mana habis ini?”
“Insya Allah FKUI”
“Wah hebat lu fal. Emang enak sih jadi dokter gaji nya gede”
Percakapan di atas adalah kutipan percakapan ku dengan salah satu kawan ku dulu sewaktu masih bersekolah. Profesi dokter memang identik dengan “uang”, “kaya”, dan lain sebagainya, dan mungkin memang begitulah kenyataannya. Tapi tidak semua dokter demikian. Banyak yang memilih hidup sederhana di desa dan membuka praktik di sana. Jika kamu bercita-cita menjadi dokter hanya karena alasan tersebut, ketahuilah kamu telah salah memilih cita-cita. Dokter mengemban kewajiban dan tanggung jawab yang terlalu besar jika hanya digunakan sebagai “alat pencari uang”. Tidak seperti kebanyakan pekerjaan yang lain yang jika melakukan kesalahan mungkin hanya akan berurusan dengan atasan; mereka (dokter) akan dimintai pertanggungjawaban oleh hukum dan oleh-Nya.
“Kalo kamu sendiri kenapa pengen jadi dokter?”
Aku terlahir tidaklah seperti orang pada umumnya. Semenjak berada di kandungan, aku sudah di vonis oleh dokter mempunyai bentuk jantung yang berbeda serta denyut yang sedikit. Aku pun divonis tidak bisa hidup lama. Setelah aku lahir, aku menjalani serangkaian pengobatan baik medis sampai alternatif serta pengobatan cina hingga berumur, mungkin, 3 atau 4 tahun. Tapi semua tidak membuahkan hasil. Akhirnya orang tua ku, yang memang berasal dari keluarga sederhana, berserah diri pada Allah S.W.T. Jika memang aku harus diambil oleh-Nya, maka itulah memang yang terbaik.
Di usia 5 tahun aku memasuki Taman Kanak-kanak. Selama di Tk pun aku, bisa dibilang, sakit-sakitan dan seringkali izin karena sakit. Tubuh ku pun saat itu sangat kurus, dan pernah dibilang kurang gizi sewaktu berobat ke puskesmas. Tapi Alhamdulillah semenjak aku lulus dari TK dan masuk SD kondisi fisik ku membaik, jarang terkena penyakit, dan tubuh ku perlahan-lahan menjadi gemuk. Dan dari semenjak SD lah aku sering didoktrin oleh ibu ku untuk menjadi dokter, untuk menolong orang-orang yang memiliki kondisi ekonomi menengah kebawah agar tidak mengalami hal yang sebagaimana mereka pernah rasakan.
Memasuki jenjang SMP cita-cita ku untuk menjadi dokter pun semakin kuat. Hingga akhirnya setelah lulus dari SMP aku memutuskan mendaftar di SMAN 49 Jakarta meskipun melihat kondisi keuangan keluarga saat itu ada baiknya aku memilih SMK agar cepat bekerja, namun aku tetap berpegang pada cita-cita ku. Sayangnya setelah aku memasuki SMA, aku terlena dengan kehidupan remaja yang katanya masa-masa remaja terindah. Ku gantungkan cita-cita ku tanpa ada usaha untuk meraihnya. Dan saat ku ingat kembali cita-cita ku itu, sudah terlambat untuk memperbaikinya. Dan sekarang inilah hasil yang ku dapat, sekali lagi membebani orang tua dengan biaya bimbel yang tidak sedikit. Disaat teman-teman ku sedang menjalani masa OSPEK aku justru kembali mempelajari pelajaran yang seharusnya sudah ku kuasai setelah 3 tahun menjalani masa sekolah. Tapi tiada guna menyesali semua yang telah terjadi. Dan semua yang terjadi pasti ada hikmahnya, Insya Allah.