Masih teringat kala itu waktu aku baru lulus SMP. Aku memilih untuk mendaftar SMA karena aku ingin menggapai cita-citaku. Di awal masa SMA aku lalui dengan cukup baik, menguasai materi dengan baik, nilai harian yang baik, dan ulangan yang baik — kecuali untuk beberapa mata pelajaran. Aku cukup sering belajar karena nilai dari semester 1 akan digunakan untuk penjurusan di akhir semester 2 nanti, penjurusan yang menentukan IPA atau IPS. Namun saat memasuki akhir dari semester 1 semua tak lagi sama. Aku jarang mendengarkan penjelasan guru, nilai ulangan mayoritas remedial, tugas selalu dikumpulkan saat deadline, slide presentasi hancur, bahkan saat mempresentasikannya pun tidak karuan. Semuanya menurun, bahkan peringkat ku di kelas yang semula kurang bagus menjadi lebih buruk. Aku bahkan ragu apakah akan bisa masuk ipa atau tidak. Karena syarat untuk mendapat jurusan IPA di sekolahku adalah rata-rata nilai IPA semester 1 dan 2 minimal 8. Aku sempat meminta tugas tambahan dari salah satu guruku,
“Bu saya boleh minta tugas tambahan ga buat nambahin nilai (menyebut nama mata pelajaran) saya?”
“Emang nilai (menyebut nama mata pelajaran) kamu berapa?”
“(Sekian), Bu”
“Kalo pelajaran (itu)?”
“(Sekian), Bu”
“Kalo pelajaran (yang satu lagi)?”
“(Sekian), Bu”
“Yah yaudah kamu masuk IPS”
dan begitulah kata beliau.
Tapi ntah mengapa saat pengambilan rapot aku mendapat jurusan IPA dan teman ku yang nilainya sedikit di atas ku justru mendapat IPS. Merasa sangat bersyukur, aku pun memantapkan niatku untuk belajar di kelas XI. Aku perhatikan setiap guru yang mengajar, menulis catatan dengan serapi mungkin, mengerjakan PR dan tugas tepat waktu, dan melengkapi alat tulis bahkan pulpen berbagai warna untuk menggambar vektor pada pelajaran fisika. Namun lagi-lagi semua hanya berjalan, mungkin, 3 bulan. Dan kelas XI pun berakhir seperti saat kelas X lalu. Aku naik ke kelas XII seolah tanpa membawa ilmu dari kelas XI, terutama kimia. Rekor ulangan kimiaku adalah selalu remedial dari ulangan pertama sampai terakhir.
Naik ke kelas XII, aku pun dihadapkan dengan ujian-ujian yang sudah di depan mata. Bukan saatnya lagi untuk main-main. Ujian sudah di depan mata, bukan hanya Ujian Nasional, melainkan ujian yang lebih besar, SBMPTN. Maka untuk sekali lagi aku niatkan diriku untuk belajar dan kufokuskan pada pelajaran kimia. Aku kumpulkan kembali buku-buku kimia dari kelas X hingga XII yang dulu tak pernah kubuka dan ringkasan materi kelas XI yang diberikan oleh guruku yang dulu tak pernah kubaca. Alhamdulillah niatku untuk belajar difasilitasi oleh Allah. Setelah mendaftar pada sebuah program beasiswa dan melakukan serangkaian test yang panjang, akhirnya aku pun diterima menjadi beswan program beasiswa yang diberikan oleh Paguyuban Karya Salemba Empat (KSE) UI yang bernama Rumah Pintar (RuPin) yang memberikan bimbel gratis dan bantuan dana jika sudah diterima di PTN yang bermitra dengan KSE kelak.
Singkat cerita, setelah belajar giat di sekolah, di rumah maupun di tempat beasiswaku, tibalah aku pada Ujian Nasional. Meskipun lulus dengan hasil yang kurang memuaskan, namun setidaknya semua nilaiku sudah melampaui nilai minimum yaitu 55 dan yang terpenting, tanpa kunci jawaban atau bocoran. Euforia setelah UN pun sangat terasa hingga 4 hari setelah UN, membutakan sesaat bahwa ada ujian yang lebih besar dan lebih penting daripada UN.
Setelah semua euforia itu berlalu, aku pun kembali belajar dengan giat, siang maupun malam, guna memperdalam penguasaan konsep dari materi-materi yang kemungkinan diujikan pada SBMPTN. Tak jarang aku pun menginap di Sekretariat Paguyuban KSE UI — tempatku bimbel — bersama teman-teman dan pengajar-pengajarku yang selalu setia menemani.
Hingga pada akhirnya hari ujian pun tiba, 9 Juni 2015 dan selanjutnya 14 Juni yaitu SIMAK UI. Walaupun merasa kurang puas dengan apa yang telah kukerjakan, namun aku telah melakukan yang terbaik yang dapat kulakukan, kurasa.
Tetapi ternyata Allah mempunyai rencana lain yang, Insya Allah, lebih baik. Hasil dari kedua ujian yang kuikuti, keduanya berkata “tidak”. Aku berusaha tetap tegar dan memutuskan untuk mengikuti bimbel lagi. Jika saja saat SMA aku konsisten dalam belajar, mungkin kini aku sudah duduk di bangku kuliah dan bukannya kembali belajar pelajaran yang harusnya sudah ku kuasai selama di SMA.